Beranda | Artikel
Belajar Tiada Henti
Jumat, 28 Oktober 2016

Bismillah, wa bihi nasta’iinu.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sungguh sebuah nikmat yang besar bagi kita; ketika Allah berikan kepada kita hidayah untuk memeluk Islam. Islam inilah jalan yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, niscaya tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85). Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitulllah dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syahadat laa ilaha illallah artinya adalah persaksian dengan lisan dan hati bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah itulah [sesembahan] yang haq, dan sesungguhnya apa-apa yang mereka seru/ibadahi selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62)

Kalimat laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang paling tinggi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan laaa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Bukkhari dan Muslim)

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bahwa iman mencakup keyakinan di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan segenap anggota badan. Iman bertambah kuat dengan ketaatan dan menjadi berkurang atau melemah karena kemaksiatan.

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekedar menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal.”   

Kalimat laa ilaha illallah merupakan dakwah setiap rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Kalimat tauhid ini mengandung dua rukun; penafian dan penetapan. Penafian atau penolakan segala sesembahan selain Allah dan penetapan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Kalimat ‘laa ilaha’ menolak segala sesembahan, sedangkan kalimat ‘illallah’ menetapkan satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah. Inilah yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Perintah beribadah kepada Allah mengandung penetapan (al-itsbat), sedangkan larangan beribadah kepada selain-Nya mengandung penafian (an-nafyu).

Oleh sebab itu ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu untuk berdakwah ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah maksudnya adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya. Sebagaimana para rasul yang Allah utus menyerukan kepada umatnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Thaghut -sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik- adalah segala bentuk sesembahan selain Allah.

Inilah dakwah para rasul. Mereka mengajak manusia untuk menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat (kalimat tauhid) dan tidak akan terputus…” (al-Baqarah : 256)

Banyak orang mengira bahwa ibadah itu hanya berupa sholat dan puasa, padahal ibadah itu luas mencakup segala bentuk perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, yang lahir dan yang batin. Semua bentuk ibadah itu harus dimurnikan untuk Allah, tidak boleh ditujukan kepada selain Allah sedikit pun diantara ibadah itu. Inilah yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Bahkan doa adalah ibadah, sehingga menujukan doa kepada selain Allah adalah termasuk syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa/beribadah bersama dengan Allah siapa pun.” (al-Jin : 19)

Allah menyebut doa sebagai ibadah. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku niscaya mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)

Ibadah membutuhkan ilmu, karena tidak akan bisa mengetahui makna dan hakikat ibadah serta tata-cara dan syarat-syaratnya kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu Allah perintahkan kita untuk berilmu sebelum berkata dan berbuat. Allah berfirman (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosa-dosamu…” (Muhammad : 19). Allah memerintahkan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu kebutuhan kepada ilmu sangatlah besar dan urgen.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia lebih membutuhkan kepada ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan setiap hembusan nafas.”

Ilmu adalah sebab hidupnya hati. Karena hati tidak akan hidup kecuali dengan ilmu dan dzikir kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, maka bagaimanakah keadaan seekor ikan apabila memisahkan diri dari air?”

Dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan dengan lisan dengan apa-apa yang ada di dalam hati. Oleh sebab itu Allah memuji orang-orang yang beriman dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila diingatkan/disebutkan nama Allah takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya…” (al-Anfal : 2-3)

Hakikat dzikir itu adalah ketaatan kepada Allah, oleh sebab itu barangsiapa taat kepada Allah sesungguhnya dia telah berdzikir kepada-Nya. Sebaliknya, barangsiapa durhaka kepada Allah maka sesungguhnya dia bukanlah orang yang berdzikir kepada Allah walaupun dia banyak membaca tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), dan tilawah al-Qur’an. Oleh sebab itu majelis ilmu disebut sebagai majelis dzikir dan para ulama disebut sebagai ahli dzikir.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl : 43). Dan para ulama telah dipuji oleh Allah karena rasa takutnya kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28)

Karena itulah ilmu menjadi jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Memahami ilmu agama adalah tanda kebaikan pada seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan ilmu ini akan mengantarkan pemiliknya menuju surga jika disertai dengan iman dan amal salih. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Kehidupan yang baik dan balasan di akhirat hanya akan diberikan kepada mereka yang melakukan amal salih dan dilandasi dengan tauhid dan aqidah yang benar. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan pasti akan Kami berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)

Amal salih adalah yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Amal-amal salih itu akan diterima oleh Allah apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dilandasi dengan keimanan. Tanpa ikhlas dan iman maka amal-amal itu akan sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Berilmu tetapi tidak beramal artinya mengikuti penyimpangan orang-orang yang dimurkai yaitu Yahudi dan yang mengikuti mereka. Adapun beramal tanpa ilmu artinya mengikuti penyimpangan orang-orang yang tersesat yaitu Nasrani dan yang mengikuti jalan mereka. Jalan yang lurus adalah memadukan antara ilmu dan amal. Mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.

Oleh sebab itu setiap hari kita diperintahkan untuk berdoa memohon hidayah jalan yang lurus; yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal salih, karena besarnya kebutuhan kita kepadanya. Oleh sebab itu pula para ulama mengatakan bahwa mereka akan menuntut ilmu sampai mati atau sampai ajal tiba. Karena kebutuhan ilmu sepanjang hayat dikandung badan, dan sepanjang itu pula ia wajib tunduk beribadah kepada Allah, dan ibadah tidak bisa tegak tanpa ilmu dan taufik dari Allah.

Wallahul musta’aan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/belajar-tiada-henti/